Bukti kasih sayang Allah kepada hamba-hamba-Nya sangat banyak. Di antaranya adalah berupa jaminan dari-Nya bagi siapa saja yang mau benar-benar mengikuti petunjuk-Nya bahwa mereka tidak akan sesat dan tidak pula celaka. Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Maka barangsiapa yang mengikuti petunjuk-Ku, niscaya dia tidak akan sesat dan tidak pula celaka.” (QS. Thaha: 123)
Ibnu Abbas radhiyallahu’anhuma berkata, “Allah memberikan jaminan kepada siapa saja yang membaca al-Qur’an dan mengamalkan ajaran yang terkandung di dalamnya, bahwa dia tidak akan tersesat di dunia dan tidak celaka di akherat.” Kemudian beliau membaca ayat di atas (lihat Syarh al-Manzhumah al-Mimiyah karya Syaikh Abdurrazzaq bin Abdul Muhsin al-Badr, hal. 49).
Lalu apa yang dimaksud dengan mengikuti petunjuk Allah? Syaikh Abdurrahman bin Nashir as-Sa’di rahimahullah menerangkan, bahwa maksud dari mengikuti petunjuk Allah ialah: [1] Membenarkan berita yang datang dari-Nya, [2] Tidak menentangnya dengan segala bentuk syubhat/kerancuan pemahaman, [3] Mematuhi perintah, [4] Tidak melawan perintah itu dengan memperturutkan kemauan hawa nafsu (lihat Taisir al-Karim ar-Rahman, hal. 515)
[1] Membenarkan berita
Demikianlah sikap seorang mukmin. Karena dia meyakini bahwa apa yang dikatakan oleh Allah adalah kebenaran di atas kebenaran. Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Allah mengatakan yang benar dan Dia juga menunjukkan jalan -yang benar-.” (QS. al-Ahzab: 4). Maka seluruh ucapan Allah dan syari’at yang ditetapkan-Nya adalah kebenaran. Adapun ucapan dan perbuatan yang batil sama sekali tidak layak disandarkan kepada-Nya dari sisi mana pun. Ucapan dan perbuatan yang batil -dengan segala bentuknya- bukan termasuk petunjuk-Nya. Karena Allah tidak akan menunjukkan kecuali kepada jalan yang lurus (lihat Taisir al-Karim ar-Rahman, hal. 658)
Termasuk di dalam hal ini adalah membenarkan sabda-sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Karena Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Tidaklah dia -Muhammad- berbicara dari hawa nafsunya, akan tetapi itu merupakan wahyu yang diwahyukan kepadanya.” (QS. an-Najm: 3-4). Apa yang disampaikan oleh Nabi merupakan penjelas bagi ayat-ayat al-Qur’an. Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Kami turunkan kepadamu adz-Dzikra (al-Qur’an) supaya kamu menjelaskannya kepada manusia apa yang diturunkan kepada mereka itu, dan mudah-mudahan mereka berpikir.” (QS. an-Nahl: 44). Oleh sebab itu terdapat ucapan yang masyhur dari Imam Ahmad rahimahullah, beliau berkata, “Barangsiapa menolak hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka dia berada di tepi jurang kehancuran.” Imam asy-Syafi’i rahimahullah juga berkata, “Kaum muslimin telah sepakat bahwa barangsiapa yang telah jelas baginya Sunnah/hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka tidak halal baginya untuk meninggalkannya gara-gara mengikuti pendapat seseorang.”
[2] Menepis syubhat
Syubhat adalah kesamaran-kesamaran yang dibuat oleh musuh-musuh agama dalam rangka mengelabui manusia dari jalan yang lurus. Sehingga kebenaran tampak sebagai kebatilan, dan sebaliknya kebatilan tampak sebagai kebenaran. Timbulnya pembangkangan terhadap ketetapan Allah dan penolakan terhadap berita yang datang dari-Nya muncul dari pintu ini selain dari pintu syahwat. Padahal, kita semua tahu bahwasanya keberuntungan dan kebahagiaan hanya akan dicapai dengan taat dan tunduk kepada Allah dan rasul-Nya. Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Barangsiapa yang taat kepada Allah dan rasul-Nya, sungguh dia akan mendapatkan keberuntungan yang sangat besar.” (QS. al-Ahzab: 71). Allah ta’ala juga berfirman (yang artinya), “Tidak pantas bagi lelaki dan perempuan yang beriman, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu perkara kemudian masih ada bagi mereka pilihan yang lain bagi urusan mereka, barangsiapa yang durhaka kepada Allah dan rasul-Nya sungguh dia akan tersesat dengan kesesatan yang amat nyata.” (QS. al-Ahzab: 36)
Oleh sebab itu berhati-hati dalam mengambil ilmu adalah jalan untuk menyelamatkan diri dari terpaan syubhat. Ibnu Sirin rahimahullah berkata, “Sesungguhnya ilmu ini adalah agama, maka perhatikanlah dari siapa kalian mengambil agama kalian.” Kemudian juga dengan bertanya kepada para ulama mengenai permasalahan yang tidak dipahami. Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Bertanyalah kepada ahli ilmu jika kalian tidak mengetahui.” (QS. an-Nahl: 43). Dengan senantiasa merujuk kepada al-Qur’an dan as-Sunnah sebagai pemutus perselisihan. Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Kemudian, apabila kalian berselisih tentang suatu perkara maka kembalikanlah kepada Allah dan rasul, jika kalian benar-benar beriman kepada Allah dan hari akhir…” (QS. an-Nisaa’: 59). Dan juga selalu berusaha mengikuti metode pemahaman salafus shalih. Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Orang-orang yang terdahulu dan pertama-tama dari kalangan Muhajirin dan Anshar, beserta orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, Allah ridha kepada mereka dan mereka pun ridha kepada-Nya, Allah sediakan bagi mereka surga-surga yang mengalir sungai-sungai di bawahnya, mereka kekal di dalamnya untuk selama-lamanya. Itulah keberuntungan yang sangat besar.” (QS. at-Taubah: 100). Imam al-Auza’i rahimahullah berkata, “Wajib bagimu untuk mengikuti jejak para salaf/pendahulu, meskipun orang-orang menolak dirimu. Dan jauhilah pendapat akal-akal manusia, meskipun mereka menghias-hiasinya dengan ucapan yang indah.”
[3] Mematuhi perintah
Menyimpang dari perintah rasul adalah kehancuran. Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Barangsiapa yang taat kepada rasul sesungguhnya dia telah taat kepada Allah.” (QS. an-Nisaa’: 80). Allah ta’ala juga berfirman (yang artinya), “Hendaknya merasa takut orang-orang yang menyimpang dari perintah rasul itu, karena mereka akan ditimpa dengan fitnah/malapetaka atau siksaan yang sangat pedih.” (QS. an-Nuur: 63). Memang terkadang apa yang diperintahkan oleh Allah dan rasul-Nya terasa berat atau tidak disukai oleh hawa nafsu manusia. Ini merupakan ujian dari Allah untuk menampakkan siapakah di antara hamba-Nya yang mendahulukan ketaatan kepada-Nya daripada keinginan hawa nafsunya. Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Bisa jadi kalian membenci sesuatu padahal itu baik bagi kalian, dan bisa jadi kalian menyukai sesuatu padahal itu jelek bagi kalian. Allah yang mengetahui sedangkan kalian tidak mengetahui.” (QS. al-Baqarah: 216).
[4] Menundukkan hawa nafsu
Allah ta’ala berfirman menukil ucapan Nabi Yusuf ‘alaihis salam (yang artinya), “Sesungguhnya hawa nafsu itu sangat mengajak kepada keburukan kecuali yang dirahmati oleh Rabbku.” (QS. Yusuf: 53). Allah ta’ala juga berfirman (yang artinya), “Adapun barangsiapa yang merasa takut terhadap kedudukan Rabbnya dan menahan diri dari memperturutkan hawa nafsunya maka sesungguhnya surgalah tempat tinggal untuknya.” (QS. an-Nazi’at: 40-41). Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Seorang mujahid adalah orang yang berjuang menundukkan hawa nafsunya dalam ketaatan kepada Allah.” (HR. Ahmad). Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Surga itu diliputi oleh hal-hal yang tidak disenangi -hawa nafsu- dan neraka diliputi oleh hal-hal yang menyenangkan -bagi nafsu-.” (HR. Bukhari dan Muslim). Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa yang meninggalkan sesuatu karena Allah niscaya Allah akan menggantikannya dengan sesuatu yang lebih baik darinya.” (HR. Ahmad).
Keempat hal di atas telah tercakup dalam ucapan Ibnu Abbas radhiyallahu’anhuma, “Orang yang membaca al-Qur’an dan mengamalkan ajaran yang terkandung di dalamnya.” Inilah bukti kedalaman ilmu salafus shalih. Semoga Allah membimbing kita untuk mengikuti jejak mereka. Allahul muwaffiq.